KOMPAS.com — Sekitar 334 Sebelum Masehi, Alexander Agung, seorang Raja Macedonia, untuk kali pertama menapakkan kakinya di Persia. Hanya satu yang ada di benak murid filsuf terkenal Aristoteles itu, yaitu mencari cara untuk menaklukkan keperkasaan Persia pimpinan Raja Darius III, yang pada zaman tersebut dianggap sebagai negara dengan pasukan perang terbaik di dunia.
Dalam buku Alexander the Great's Art of Strategy karya Partha Bose dikisahkan, setibanya di sebuah selat bernama Dardanelles, yang menjadi salah satu wilayah kekuatan Persia, Alexander kemudian memerintahkan 36.000 prajuritnya untuk membakar kapal-kapal yang mengangkut mereka dan mengatakan, "Kita pulang dengan kapal Persia, atau kita akan mati."
Meski sempat dinaungi rasa takut, ucapan itu bagaikan cambuk dan pelecut semangat puluhan ribu prajurit Macedonia, yang jumlahnya tak berarti jika dibandingkan dengan kekuatan pasukan Persia. Walhasil, karena keberanian sang pemimpin yang juga dilengkapi dengan pasukan yang terlatih, Macedonia akhirnya berhasil menaklukkan Persia dalam pertempuran Gaugamela, 331 SM.
Catatan sejarah lain mencatat pemimpin bangsa barbar di Afrika, Tarik bin Ziyad, pun pernah melakukan hal serupa dengan Alexander saat ingin meruntuhkan Kerajaan Andalusia (Spanyol) pimpinan Raja Roderic pada 717 Masehi. Setibanya di Eropa, Tarik memerintahkan prajuritnya untuk membakar kapal-kapal mereka sehingga tidak ada pilihan lain selain maju bertempur dan memenangkan peperangan.
Teladan
Beragam sejarah heroisme seorang pemimpin besar dunia yang dikisahkan secara turun-temurun seperti Alexander dan Tarik sering kali dijadikan panutan generasi selanjutnya. Tak terkecuali dengan Pelatih Tim Nasional Indonesia, Nil Maizar. Menurutnya, kandungan filosofis cara berpikir dua pemimpin itu merupakan teladan yang dapat ditiru dalam kehidupan sehari-hari.
"Arti dari cerita itu adalah jangan pernah ada pikiran untuk kembali kalau kita sudah berada di medan perang. Risiko dan tantangan apa pun harus kita tanggung," ujar Nil saat berbincang dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 2 Januari 1970, sepak bola sudah lekat dalam kehidupan Nil muda. Sejak berumur 10 tahun, ia bergabung dengan Persatuan Sepak Bola Payakumbuh hingga 1986. Setelah itu, karier usia muda dilanjutkannya dengan bergabung ke Diklat Padang (1986-87) dan Diklat Ragunan (1987-1988).
Nil melanjutkan karier profesionalnya ketika bergabung dengan Semen Padang di Galatama. Saat kariernya berkembang, pria berposisi sebagai bek tengah itu kemudian dimasukkan ke dalam proyek nasional Garuda II yang dibentuk pada 1986 hingga 1991. Namanya pun tercatat sebagai anggota timnas pada Pra-Olimpiade di Barcelona 1992.
Karier kepelatihan Nil dimulai saat dia mengarsiteki Semen Padang Yunior pada 2000-2003. Setelah itu, ia menjadi asisten pelatih tim utama Semen Padang selama lima musim hingga 2010. Satu tahun setelahnya, ia menggantikan posisi Pelatih Arcan Lurie dan dipercaya menjadi pelatih utama tim berjuluk "Kabau Sirah" tersebut.
Pada musim 2010-11, Nil langsung sukses membawa Semen Padang menduduki peringkat empat klasemen akhir IPL. Kecemerlangan itu berlanjut hingga pertengahan musim berikutnya karena Semen Padang mampu bercokol di puncak klasemen. Atas dasar itulah, PSSI kemudian menunjuk Nil sebagai arsitek tim nasional Indonesia senior, menggantikan Aji Santoso, 13 April 2012.
Risiko
Nil mengakui menjadi pelatih timnas, yang ketika itu tengah mempersiapkan Piala AFF 2012, bukan tugas mudah. Maklum saja, kisruh PSSI dan KPSI semakin menjadi. Belum lagi dengan beban berat dari harapan 240 juta masyarakat pencinta bola Indonesia yang jelas merindukan prestasi karena 21 tahun lamanya telah mati suri.
"Saya sadar itu (melatih timnas) adalah sebuah risiko. Banyak yang bilang, 'Ngapain saya ke timnas? Lebih baik tetap di Semen Padang. Apalagi Semen Padang sedang onfire. Tapi, saya selalu bilang, saya melatih timnas dengan sebuah kejujuran. Saya juga mencoba menapak tangga yang lebih tinggi," beber Nil.
Keinginan untuk menapak prestasi lebih tinggi tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Laiknya kisah heroisme Pangeran Alexander dan Tarik, Nil sadar di depannya menanti sebuah lapangan pertempuran besar penuh tantangan. Di antara hunjaman tekanan sana-sini kepada timnas, Nil tetap sadar diri untuk selalu tegar dan ikhlas.
Lihat saja sulitnya Nil mematangkan timnas karena adanya pelarangan dari KPSI yang tidak mengizinkan klub ISL melepas pemainnya untuk membela negaranya. Belum lagi dengan ulah mereka membuat timnas tandingan yang sempat membuat air mata Nil jatuh saat lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, sebelum laga Indonesia kontra Vietnam, 15 September lalu.
Cercaan secara personal dan non-personal dari sejumlah pihak juga pernah menghampiri Nil. Mulai dari kecaman karena timnas dinilai sebagai tim abal-abal karena tidak diisi pemain-pemain yang tidak berkualitas dan tidak terkenal hingga kapasitas dirinya yang dinilai tidak pantas melatih skuad "Garuda" pun sempat terpampang di sejumlah media nasional.
Di tengah kondisi seperti itu, tak pernah terlintas di benak Nil untuk mundur dari persoalan. Dengan kepala tegak, ia mempersilakan sejumlah pihak menghina dirinya sebagai pelatih yang tidak berkualitas. Tetapi, secara tegas, ia meminta agar beberapa pihak itu jangan pernah melecehkan para pemain nasional Indonesia.
"Jangan pernah meremehkan tim ini. Ingat salah satu kunci kehidupan ini. Jangan pernah menganggap remeh suatu hal yang tidak Anda ketahui. Percayalah, suatu saat orang akan lebih dari yang Anda bayangkan. Kalau Anda menzalimi orang, Anda akan mendapatkan hal yang sama," saran Nil.
Tantangan
Kini, harapan ratusan juta masyarakat Indonesia yang rindu prestasi sepak bola berada di pundak Nil Maizar. Meskipun cercaan, hinaan, hingga tekanan terus menghampirinya, Nil optimistis anak asuhnya akan meraih hasil terbaik dalam Piala AFF yang akan digelar di Malaysia dan Thailand, 24 November hingga 22 Desember 2012.
"Saya tidak pernah berpikir gagal juara. Anda tidak boleh berpikir seperti itu. Kalau Anda berpikir ke arah itu, Anda akan terbawa ke sana. Memang, keinginan kita sebagai pelatih, dan siapa pun di dunia ini, pasti menjadi juara. Tapi untuk menuju ke sana, yang harus kita jaga adalah menjaga proses untuk menjadi juara itu," tuturnya.
Oleh karena itu, di tengah harapan besar tersebut, Nil mencoba untuk tetap tenang. Baginya, yang terpenting saat ini bukan terus untuk terjerumus dalam sejumlah polemik sepak bola Indonesia. Yang terpenting sekarang, menurutnya, adalah tetap menjaga semangat persatuan anak bangsa demi menegakkan kehormatan "Merah Putih" dalam medan perang bernama Piala AFF 2012 pada akhir pekan ini.
"Sebagai perantau, saya harus berhasil, seberat apa pun ancaman dan gangguan menghadang. Saya tahu risiko terburuk yang akan saya terima. Tapi, kita tidak boleh menyerah karena di situlah tantangannya. Jangan takut," tutup Nil.
Fakta Nil Maizar
Nama lengkap: Nil Maizar
Tempat dan tanggal lahir: Payakumbuh, Sumatera Barat, 2 Januari 1970
Posisi saat bermain: Bek tengah
Karier: Persepak Payakumbuh (1980-86), Diklat Padang (1986/87), Diklat Ragunan (1987/88), PSSI Garuda II (1988-91), Timnas PSSI Piala Marah Halim Medan (1991), Semen Padang (1992-97), PSP Padang (1997-99)
Karier pelatih: Semen Padang U-21 (2000-03), Asisten Pelatih Semen Padang (2004-10), Semen Padang (2010-12), Timnas Indonesia (2012-sekarang)
Saya tahu risiko terburuk yang akan saya terima. Tapi,
kita tidak boleh menyerah karena di situlah tantangannya. Jangan takut.
-- Nil Maizar
niceee . . . :)
ReplyDelete